Oktober yang Basah di Muktiharjo Kidul
Oktober 2025 menjadi bulan yang tak akan mudah dilupakan oleh warga Muktiharjo Kidul, Semarang. Hujan turun berkali-kali tanpa ampun, membuat sebagian besar warga harus berjibaku dengan air yang masuk ke rumah. Di setiap tetes hujan, ada cerita tentang kepanikan, kesabaran, dan kebersamaan.
20 Oktober 2025 – Hujan Malam yang Menjadi Awal
Malam itu, langit Muktiharjo Kidul tampak gelap pekat. Awan hitam menggantung rendah, dan tak lama kemudian hujan turun dengan derasnya. Angin berhembus kuat, membuat suara hujan di atap rumah terdengar semakin keras.
Awalnya warga mengira hujan akan reda seperti biasanya. Namun semakin malam, air di halaman rumah mulai naik perlahan. Saluran air yang penuh tak lagi mampu menampung derasnya aliran, hingga akhirnya air masuk ke rumah-rumah warga.
Anak-anak yang sudah tertidur terbangun karena air mulai merembes ke dalam kamar. Orang tua sibuk memindahkan barang-barang ke tempat yang lebih tinggi. Suara hujan bercampur dengan suara benda yang digeser, ember yang dipindahkan, dan langkah-langkah tergesa di lantai yang tergenang.
Menjelang tengah malam, sebagian rumah di Muktiharjo Kidul sudah terendam. Warga hanya bisa pasrah menunggu air surut, dengan doa agar hujan segera berhenti. Malam itu menjadi awal dari rentetan hari-hari penuh genangan.
28 Oktober 2025 – Hujan Sejak Pagi, Banjir Lebih Tinggi dari Kemarin
Belum seminggu berlalu, bencana kecil itu datang lagi — kali ini lebih berat. Sejak pagi hari, hujan turun deras tanpa henti. Langit tampak kelabu sepanjang hari, dan udara terasa dingin serta lembap. Air hujan yang turun tanpa jeda membuat selokan cepat meluap, mengalir deras ke jalan-jalan, lalu masuk ke halaman rumah warga.
Sekitar pukul sembilan pagi, genangan sudah setinggi betis orang dewasa. Beberapa warga mulai panik karena air masuk lebih cepat daripada sebelumnya. Perabotan rumah diangkat setinggi mungkin, tapi sebagian sudah terlanjur basah. Motor-motor warga terparkir di tempat tinggi, namun banyak juga yang tak sempat diselamatkan.
Hujan terus mengguyur hingga sore hari. Banjir kali ini jauh lebih tinggi dari sebelumnya, bahkan beberapa rumah terendam hingga lutut orang dewasa. Anak-anak terpaksa diliburkan, pedagang menutup warungnya, dan jalan utama di Muktiharjo Kidul berubah menjadi lautan air yang penuh kendaraan mogok.
Namun di tengah suasana kacau, ada juga kebersamaan yang hangat. Warga saling membantu mengevakuasi barang, membagikan makanan, dan menjaga anak-anak agar tetap aman. Meskipun lelah, mereka tetap bertahan — karena mereka tahu, hujan ini akan berlalu, entah kapan.
30 Oktober 2025 – Hujan Sore, Banjir Masih Datang
Setelah dua hari cuaca cerah, warga mulai merasa tenang. Namun di sore hari tanggal 30 Oktober, langit kembali berubah muram. Hujan turun pelan, lalu semakin deras. Meskipun tidak selebat tanggal 28, kekhawatiran warga segera muncul.
Air kembali naik, meski tak setinggi sebelumnya. Jalanan mulai tergenang, dan air perlahan merembes ke dalam rumah lagi. Kali ini sebagian warga sudah lebih siap — perabotan penting sudah disusun di tempat tinggi sejak pagi, motor disimpan di lokasi aman, dan ember-ember sudah disiapkan untuk menahan aliran air dari pintu.
Anak-anak menatap air yang kembali masuk ke rumah dengan wajah murung. Orang tua hanya bisa menghela napas, lelah tapi pasrah. “Yang penting nggak setinggi kemarin,” ujar seorang warga dengan nada lega, meski kakinya sudah terendam air setinggi mata kaki.
Menjelang malam, hujan mulai reda. Sisa air masih menggenang, tapi tak sebesar dua hari sebelumnya. Warga duduk di depan rumah sambil melihat jalanan yang perlahan kembali terlihat. Di antara kelelahan dan basah, ada rasa syukur bahwa banjir kali ini tidak separah kemarin.
Penutup
Tiga kali hujan besar di bulan Oktober meninggalkan cerita yang sama di Muktiharjo Kidul: rumah-rumah tergenang, jalan berubah jadi sungai kecil, dan warga harus bergotong royong menghadapi alam. Namun dari setiap banjir yang datang, tumbuh pula ketabahan dan solidaritas.
Di tengah genangan air dan langit kelabu, warga Muktiharjo Kidul belajar bahwa hujan bukan hanya ujian, tetapi juga pengingat — bahwa kebersamaan selalu menjadi payung paling kokoh di saat badai datang.